Dari beberapa catatan kecil serta dokumentasi yang ada, termasuk buku harian Soe yang sudah diterbitkan, Catatan Seorang Demonstran
(CSD) (LP3ES, 1983), di benak saya mulai tergali suasana sore hari
bergerimis hujan dan kabut tebal, tanggal 16 Desember 1969 di G. Semeru.Seusai
berdoa dan menyaksikan letupan Kawah Jonggringseloko di Puncak Mahameru
(puncaknya G. Semeru) serta semburan uap hitam yang mengembus membentuk
tiang awan, bersama Maman saya terseok-seok gontai menuruni dataran
terbuka penuh pasir bebatuan. Kami menutup hidung, mencegah bau belerang
yang makin menusuk hidung dan paru-paru. Di
depan kelihatan Soe sedang termenung dengan gaya khasnya, duduk dengan
lutut kaki terlipat ke dada dan tangan menopang dagu, di tubir kecil
sungai kering. Tides dan Wiwiek turun duluan. Sempat pula kami
berpapasan dengan Herman dan Idhan. Kelihatannya kedua teman itu akan
menjadi yang paling akhir mendaki ke Mahameru.Dengan
tertawa kecil, Soe menitipkan batu dan daun cemara. Katanya, “Simpan
dan berikan kepada kepada ‘kawan-kawan’ batu berasal dari tanah
tertinggi di Jawa. Juga hadiahkan daun cemara dari puncak gunung
tertinggi di Jawa ini pada cewek-cewek FSUI.” Begitu kira-kira kata-kata
terakhirnya, sebelum bersama Maman saya turun ke perkemahan darurat
dekat batas hutan pinus atau situs recopodo (arca purbakala kecil
sekitar 400-an meter di bawah Puncak Mahameru).
Di
perkemahan darurat yang cuma beratapkan dua lembar ponco (jas hujan
tentara), bersama Tides, Wiwiek dan Maman, kami menunggu datangnya
Herman, Freddy, Soe, dan Idhan. Hari makin sore, hujan mulai tipis dan
lamat-lamat kelihatan beberapa puncak gunung lainnya. Namun secara
berkala, letupan di Jonggringseloko tetap terdengar jelas.Menjelang
senja, tiba-tiba batu kecil berguguran. Freddy muncul sambil
memerosotkan tubuhnya yang jangkung. “Soe dan Idhan kecelakaan!”
katanya. Tak jelas apakah waktu itu Freddy bilang soal terkena uap
racun, atau patah tulang. Mulai panik, kami berjalan tertatih-tatih ke
arah puncak sambil meneriakkan nama Herman, Soe, dan Idhan berkali-kali. Beberapa
saat kemudian, Herman datang sambil mengempaskan diri ke tenda darurat.
Dia melapor kepada Tides, kalau Soe dan Idhan sudah meninggal! Kami
semua bingung, tak tahu harus berbuat apa, kecuali berharap semoga
laporan Herman itu ngaco.
Kami berharap semoga Soe dan Idhan
cuma pingsan, besok pagi siuman lagi untuk berkumpul dan tertawa-tawa
lagi, sambil mengisahkan pengalaman masing-masing.Tides
sebagai anggota tertua, segera mengatur rencana penyelamatan. Menjelang
maghrib, Tides bersama Wiwiek segera turun gunung, menuju perkemahan
pusat di tepian (danau) Ranu Pane, setelah membekali diri dengan dua
bungkus mi kering, dua kerat coklat, sepotong kue kacang hijau, dan satu
wadah air minum. Tides meminta kami menjaga kesehatan Maman yang masih shock, karena tergelincir dan jatuh berguling ke jurang kecil.“Cek
lagi keadaan Soe dan Idhan yang sebenarnya,” begitu ucap Tides sambil
pamit di sore hari yang mulai gelap. Selanjutnya, kami berempat tidur
sekenanya, sambil menahan rembesan udara berhawa dingin, serta tamparan
angin yang nyaris membekukan sendi tulang.
Baru keesokan paginya, 17 Desember 1969, kami yakin kalau Soe dan Idhan sungguh sudah tiada, di tanah tertinggi di Pulau Jawa. Kami jumpai jasad kedua kawan kami sudah kaku. Semalam suntuk mereka lelap berkasur pasir dan batu kecil G. Semeru. Badannya yang dingin, sudah semalaman rebah berselimut kabut malam dan halimun pagi. Mata Soe dan Idhan terkatup kencang serapat katupan bibir birunya. Kami semua diam dan sedih.
Baru keesokan paginya, 17 Desember 1969, kami yakin kalau Soe dan Idhan sungguh sudah tiada, di tanah tertinggi di Pulau Jawa. Kami jumpai jasad kedua kawan kami sudah kaku. Semalam suntuk mereka lelap berkasur pasir dan batu kecil G. Semeru. Badannya yang dingin, sudah semalaman rebah berselimut kabut malam dan halimun pagi. Mata Soe dan Idhan terkatup kencang serapat katupan bibir birunya. Kami semua diam dan sedih.
Mengapa naik gunung
Sejak
dari Jakarta Soe sudah merencanakan akan memperingati hari ultahnya
yang ke-27 di Puncak Mahameru. Malam sebelumnya, tanggal 15 Desember,
dalam tenda sempit di tepi hutan Cemoro Kandang, Soe yang amat menguasai
lirik dan falsafah lagu-lagu tertentu, meminta kami menyanyikan lagu
spiritual negro, Nobody Knows, sampai berulang-ulang. Padahal irama lagu ini monoton sampai sudah membosankan kuping dan tenggorokan.Idhan
yang pendiam, cuma duduk tertawa-tawa, sambil mengaduk-aduk rebusan mi
hangat campur telur dan kornet kalengan. Malam dingin dan hujan itu,
kami bertujuh banyak bercerita, termasuk mendengarkan rencana Soe yang
mau berultah di puncak gunung. “Pokoknya gue akan berulang tahun di atas,” katanya sambil mesam-mesem. “Nyanyi lagi dong. Lagu Donna Donna-nya Joan Baez itu bagus sekali.”Pagi
hari nahas itu, sebelum berkemas untuk persiapan pendakian ke puncak,
kami sarapan berat. Soe yang biasanya cuma bercelana pendek, kini
memakai celana panjang dengan sepatu bot baru. Bahkan dia mengenakan
kemeja kaus warna kuning dengan simbol UI di kantung. “Keren enggak?” Tanyanya.
Rombongan
pun berjalan mendaki, menuju Puncak Mahameru dari dataran di kaki G.
Bajangan. Soe sebagaimana biasanya, selalu memanggul ransel besar dan
berat, berjalan gesit sambil banyak cerita dan komentar. Ia mengisahkan
bahwa di sekitar daerah itu pasti masih banyak harimau karena dia
menemukan jejak kakinya. Dia juga menyebut kalau Cemoro Kandang
berlumpur arang gara-gara kebakaran hutan pinus tahunan, sebagai
pertanda seleksi alam dan proses regenerasi tanaman hutan.Dosen sejarah ini terus nyerocos kepada mahasiswanya (saya), asal muasal nama recopodo
alias arca kembar, serta mitologi Puncak Mahameru yang berkaitan dengan
nasib Pandawa Lima dalam pewayangan Jawa. Namun sang mahasiswa juga
membayangkan dengan geli, betapa kagetnya wakil DPR-RI saat itu ketika
menerima bingkisan dari kelompok Soe berisi gincu dan cermin sebagai
perlambang fungsi anggota DPR yang banci. Sayang, cuma segitu ingatan saya tentang Soe pada jam-jam terakhirnya. Yang masih tetap terngiang justru rayuan dan “falsafahnya”, kala mengajak seseorang mendaki gunung. “Ngapain lama-lama tinggal di Jakarta. Mendingan
naik gunung. Di gunung kita akan menguji diri dengan hidup sulit, jauh
dari fasilitas enak-enak. Biasanya akan ketahuan, seseorang itu egois
atau tidak. Juga dengan olahraga mendaki gunung, kita akan dekat dengan
rakyat di pedalaman. Jadi selain fisik sehat, pertumbuhan jiwa juga
sehat. Makanya yuk kita naik gunung. Ayo ke Semeru, sekali-kali
menjadi orang tertinggi di P. Jawa. Masa cuma Soeharto saja orang
tertinggi di P. Jawa ini,” kira-kira begitu katanya, sambil menyinggung
nama mantan Presiden Soeharto, nun sekitar 30 tahun lalu.Memang
pendakian ke Semeru ini merupakan proyek kebanggaan Mapala FSUI 1969.
Soe dengan keandalannya melobi kiri-kanan, mampu mengumpulkan dana untuk
subsidi penuh beberapa rekan yang mahasiswa bokek sejati.Singkat
cerita, musibah sudah terjadi. Soe mungkin tidak membayangkan betapa
kematiannya bersama Idhan Lubis bikin repot setengah mati banyak orang.
Kami yang ditinggal dalam suasana tak menentu, selama sembilan hari
benar-benar hidup tidak kejuntrungan. Selain puasa sampai tiga
hari karena kehabisan makanan, kami makin sedih saat menerima surat dari
Tides via kurir, menanyakan keadaan Soe dan Idhan. Herman,
kami sudah sampai di Gubuk Klakah hari Kamis pagi, sesudah jalan
sepanjang malam (sekitar 20 jam). Pak Lurah menyanggupi tenaga bantuan
10 orang dan bekal. Mohon kabar bagaimana Soe, Idhan, dan Maman dll.
secepatnya mendahului rombongan … Tides dan Wiwik 18-12-69. Saya
pun terpilih menjadi kurir, mendahului rombongan sambil membawa surat
untuk Tides. Isinya apalagi kalau bukan minta bantuan tenaga dan bahan
makanan. Herman pun menulis surat: Saya tunggu di Cemorokandang dan
bermaksud menunjukkan “site” tempat jenazah Soe dan Idhan … kirimkan:
gula/gula jawa, nasi, lauk, permen, pakaian hangat … sebanyak mungkin!
Akhirnya, semua bantuan tiba. Seluruh anggota rombongan baru berkumpul lagi pada tanggal 22 Desember di Malang. Kurus dan kelelahan. Maman terpaksa dirawat khusus beberapa hari di RS Claket. Sedangkan Soe dan Idhan, terbaring kesepian di dalam peti jenazah masing-masing.
Untuk terakhir kali, kami tengok Soe dan Idhan. Soe yang mati muda, terbujur kaku dengan kemeja tangan panjang putih lengkap dengan dasi hitam. Jenis barang yang tidak mungkin dipakai semasa hidupnya.
Sejak itu Soe Hok Gie dan Idhan Lubis tercatat sebagi korban pertama
yang gugur di Gunung Semeru. Dan ada beberapa puluhan pendaki di
tahun-tahun selanjutnya yang dinyatakan gugur dan hilang. Penyebabnya
bermacam-macam, ada yang jatuh ke jurang, tertimpa material vulkanik,
tersesat saat cuaca buruk, dan menghirup gas beracun. Namun demikian
“ganasnya” Gunung Semeru tidak menjadi penghalang bagi pendaki yang
mencari kedamaian dan menguji nyali untuk sampai di puncak Semeru.
Comments
Post a Comment