Kebangkitan roh Krakatau itu awalnya dilihat oleh sekelompok nelayan pada suatu sore, 29 Juni 1927. "Dengan suara bergemuruh, gelembung-gelembung gas yang sangat besar mendadak menyembul ke permukaan laut," tulis Simon Winchester (2003), menggambarkan kemunculan gunung baru dari bekas kaldera Krakatau, "Gelembung-gelembung itu meledak menjadi awan-awan yang menyemburkan abu dan gas belerang yang berbau busuk."
Mendengar kabar samar dari warga, pada Januari
1928, geolog Belanda, JMW Nash, datang ke bekas kaldera Krakatau. Dia
pun menyaksikan munculnya pulau baru atau lebih persisnya lapisan pasir
berbentuk separuh lingkaran sepanjang sekitar 10 meter. Di pusat
lengkungan, dia melihat gundukan batuan setinggi 8,93 meter di atas
permukaan laut yang masih berasap. Lapisan pasir ini merupakan embrio
kelahiran pulau gunung api yang diberi nama: Anak Krakatau. Gundukan
yang menjadi pusat semburan itu kemudian terus menyembul ke atas dan
menjadi kawahnya.
Kemunculan Anak Krakatau persis dengan ramalan
Verbeek. Pada 1885, setelah beberapa kali kunjungan ke Krakatau, dia
memperingatkan tentang kemungkinan kebangkitan roh Krakatau, "...jika
gunung api ini melakukan aktivitas baru, diperkirakan pulau-pulau akan
muncul di tengah cekungan laut yang dikitari oleh puncak Rakata,
Sertung, dan Panjang, sebagaimana Pulau Kaimeni muncul dalam Kelompok
Santorini, dan persis sebagaimana kawah Danan dan Perbuatan itu sendiri
dulu dibentuk di laut di dalam dinding-dinding kawah purba."
Kelahiran
kembali Anak Krakatau pasca-kehancuran 1883 menguatkan kisah tentang
Proto Krakatau. Spekulasi ini awalnya disampaikan oleh George Adriaan De
Neve yang menduga kaldera kuno Krakatau meledak pada abad ketiga
masehi. Dia mendasarkan dugaannya pada dokumen sejarah dan deposit
vulkanik yang terdapat di bawah laut Selat Jawa.
"Ada bukti bahwa
jauh sebelum letusan 1883—barangkali 60.000 tahun yang lalu atau
sebelum itu—ada sebuah gunung yang jauh lebih besar yang oleh beberapa
orang geolog disebut Krakatau Purba yang mereka yakini setinggi 6.000
kaki dan terpusat di sebuah pulau yang nyaris bundar sempurna, dengan
diameter 9 mil," sebut Winchester.
Namun, sebuah letusan dahsyat
meluluhlantakkan pulau itu sehingga terbentuk gugusan pulau yang terdiri
dari empat buah pulau kecil. Di ujung utara gugusan itu ada dua pulau
karang yang rendah dan berbentuk bulan sabit, yang di timur disebut
Panjang dan di sebelah barat disebut Sertung. Di dalam lingkaran yang
dibentuk kedua pulau tadi, terdapat Polish Hat, yaitu potongan kecil
batuan vulkanik, dan sebuah pulau yang terdiri dari tiga puncak, yaitu
Rakata di puncak selatan, Danan di bagian tengah, dan Perbuatan di
utara.
Keberadaan pulau-pulau ini sebelum letusan 1883 memang tak
terbantahkan. Dari laporan-laporan perjalanan penjelajah Barat,
pulau-pulau itu dulunya telah dihuni. Kapal Resolution dan Discovery
yang dipimpin penjelajah Inggris terkenal, Kapten James Cook, pernah
berhenti di Pulau Krakatau dua kali. Kedua kapal itu sedang dalam
perjalanan mencari dunia selatan. Seperti yang dicatat oleh kolega Cook,
botanikus Joseph Banks, pada Januari 1771, "Di malam hari membuang sauh
di bawah pulau tinggi yang di kalangan para pelaut disebut Cracatoa dan
oleh orang-orang India Pulo Racatta."
Banks melanjutkan
laporannya, "... pagi ini ketika bangun kami melihat ada banyak rumah
dan pohon-pohon perkebunan di Cracatoa, jadi barangkali kapal bisa
menambah bekal di sini." Enam tahun kemudian Cook kembali singgah di
sana dan masih menemukan desa-desa dengan ladang lada dan aneka tanaman
lainnya.
Jauh sebelum para geolog berspekulasi soal keberadaan
Proto Krakatau, orang-orang Jawa kuno sebenarnya telah memiliki
keyakinan tentang keberadaan gunung ini. Bahkan, dalam mitologi Jawa,
konon, Pulau Sumatera dan Jawa awalnya masih menyatu. Letusan Krakatau
dianggap telah memisahkan daratan ini hingga menjadi dua pulau, seperti
dituturkan dalam Kitab Raja Purwa yang ditulis pujangga Surakarta,
Ronggowarsito, pada tahun 1869.
Alkisah, daratan Jawa dan
Sumatera waktu itu masih menyatu. Suatu ketika, Sri Maharaja Kanwa, yang
memimpin tanah Jawa, terbawa angkara dan menikam seorang pertapa yang
bernama Resi Prakampa hingga tewas. Seketika itu juga Gunung Batuwara
terdengar bergemuruh. Gunung Kapi—nama lama Krakatau—mengimbanginya
dengan letusan dahsyat, keluar apinya merah mengangkasa, guruh guntur,
air pasang menggelora, lalu datang bencana berupa air bah dan hujan
lebat. Nyala api yang merah membara tidak terpadamkan oleh air, malah
semakin besar. Gunung Kapi runtuh bercerai-berai masuk ke dalam bumi.
Air
laut menggenangi daratan, mencapai Gunung Batuwara atau Gunung Pulosari
ke timur hingga Gunung Kamula, Gunung Pangrango atau Gunung Gede, dan
ke barat hingga Gunung Rajabasa di Lampung. Ketika laut telah surut
kembali, Krakatau dan tanah-tanah di sekitarnya telah menjadi lautan. Di
bagian barat laut dinamakan Pulau Sumatera dan di bagian timur
dinamakan Jawa.
Narasi dalam Kitab Raja Purwa ini, bagi sebagian
ilmuwan Barat hanyalah dongeng yang awalnya dipandang sebelah mata.
Kitab ini nyaris tak pernah menjadi rujukan penelitian tentang Krakatau.
Namun, belakangan, temuan lapisan endapan yang jauh lebih tua
dibandingkan letusan 1883 menguatkan bahwa Krakatau pernah meletus
sebelum tahun itu.
"Sebelum pembentukan kaldera 1883, Krakatau
minimal dua kali meletus. Kami menemukan dua kelompok hasil letusan
kaldera di bawah lapisan endapan yang terbentuk pada tahun 1883, lokasi
persisnya di singkapan timur-tenggara Pulau Rakata dan Panjang," kata
Sutikno.
Pendataan karbon yang dilakukan oleh Haraldur Sigurdsson
tahun 1999 menemukan, di bawah endapan akibat letusan 1883 terdapat
endapan yang terbentuk pada tahun 1215 masehi dan 6600 sebelum masehi.
Ahli
tsunami, Gegar Prasetya, juga meyakini keberadaan Krakatau Purba yang
pernah meletus jauh lebih hebat dibandingkan letusan tahun 1883. Bahkan,
tidak menutup kemungkinan "dongeng" tentang pemisahan Jawa dan Sumatera
akibat letusan Krakatau itu adalah kenyataan geologi.
Ken
Wohletz dari Los Alamos National Laboratory telah membuat simulasi
tentang kemungkinan pemisahan Pulau Jawa dan Sumatera itu akibat letusan
leluhur Anak Krakatau. Kesimpulannya, letusan super (supereruption)
berskala 8 dalam indeks letusan gunung api (volcanic explosivity index
/VEI) sebagaimana letusan gunung api super (supervolcano) Toba di
Sumatera Utara bisa sangat mungkin pernah terjadi di Krakatau.
Tak
gampang membayangkan bagaimana kedahsyatan letusan Proto Krakatau itu,
mengingat letusan Krakatau pada 1883 saja sudah sedemikian mengerikan
dan menimbulkan petaka tak terperi.(Tim
Comments
Post a Comment